Senin, 21 April 2008

Irit or Hemat or Kikir?

Minggu kemaren kami makan2 di Bakmi Golek, kami pesan nasi buat 7 orang (wong yang hadir ya 7 orang) plus 1 mangkok mie selain Chinese Food. Ternyata, nasinya diberikan dalam panci dan banyakkkkk banget. Walhasil, kami semua menatap nasi dengan mata sayang sekaligus nyesel kenapa ga pesen nasi 5 porsi aja. Lalu terjadilah diskusi antara kami (hamba Tuhan dan diaken), mo diapain tuh nasi. Satu hT bilang bahwa lebih baik ditinggal aja, siapa tau ada jemaat yang liat kan ga lucu bahkan bisa jadi omongan (masak hamba Tuhan ada sisa nasi masih juga dibungkus, pelit amat). Gue nyeletuk kalo mempermasalahkan pendapat orang mah, dengan ninggalin nasi begitu aja juga bisa jadi omongan (masak hamba Tuhan ada sisa nasi ditinggalin gitu aja, ga tau diri orang2 kan pada kelaparan, boros amat ga tau hidup susah). Akhirnya setelah debat2 & ga ada satu pun yang mau bawa pulang (karena di rumah masing2 udah masak nasi), kami putuskan meninggalkan nasi di sana, dengan keyakinan bahwa itu nasi pasti dijual lagi ato dimakan karyawan resto. Hm, apakah masalah selesai?

Ternyata topik "nasi sisa" itu dibahas lagi di mobil dengan memasukkannya ke topik "hemat" vs "kikir" vs "irit". Gue ampe geli mendengarkan omongan orang2 di mobil. Gue tergoda nyeletuk bahwa sebenarnya semua orang merasa bersalah (guilty) dengan meninggalkan nasi begitu saja di resto. Makanya semua membahas ulang tentang tindakan yang telah diambil. Semua sedang berusaha "membenarkan diri" dengan mengemukakan banyak alasan. Dari kejadian ini, gue kembali melihat bahwa "apa yang dikatakan seseorang" memang belum tentu "sama dengan yang dipikirkannya" juga belum tentu "sama dengan yang dirasakannya."

Dalam hal ini nilai/standar hidup menjadi kunci untuk mengambil keputusan (termasuk untuk merasa nyaman dengan keputusan yang telah diambil). Gue jadi inget pelajaran psikologi sosial bahwa tidak ada manusia yang senang bertahan dalam perasaan bersalah. Manusia akan berusaha membenarkan construal (pola pikir) bahkan dengan cara mencari sekutu, berusaha menyakinkan orang lain untuk mendukung tindakannya. Di sini terjadi group polarization (persetujuan kelompok) dengan tujuan meminimalkan rasa bersalah. Anyway, gue seneng dengan kejujuran dan keterbukaan orang2 di mobil, mereka sama2 mengakui masih rancu dengan masalah "irit" dan "hemat" apalagi dengan "kikir" semuanya beti alias beda2 tipis. Tapi dengan pemahaman yang terbatas itu, kami tetep sama2 belajar untuk tidak menjadi batu sandungan bagi orang2 yang kami layani. Walau pendapat bisa jadi beda, gue percaya Tuhan melihat dan memperhitungkan ketulusan hati kami. So, CIA YOU!! SMANGAT TERUS.... perbedaan justru memperkaya pandangan dan pelayanan kami...

Tidak ada komentar: