Rabu, 25 Februari 2009

The Value of A Good Idea

Itu judul bab 10 dari buku Bill Hybels yang berjudul ax.i.om [ak-see-uhm] yang dijadikan pegangan KTB coreteam, KTBnya para hamba Tuhan (oya, Bill juga ngarang buku lain yang berjudul Courageous Leadership). Nah, pagi ini kami seperti biasa mendiskusikan apa yang dapat kami terapkan sebagai pemimpin di yayasan tempat kami melayani bersama.

Dari sharing Bill Hybels, gue mencatat beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang pemimpin berkaitan dengan good idea, yaitu:
1. Mencari ide = mencari kehendak Allah. Itu membutuhkan kerjasama antara Allah dengan kita, yaitu: menyediakan waktu mendengarkan suara Allah dan dengan rendah hati, membiarkan Allah memakai semua hal yang dititipkanNya pada kita untuk mengeluarkan ide itu (termasuk otak dan hati kita). Kami sempat mendiskusikan: seberapa jauh sebuah ide disebut orisinil? Apakah kalo ide itu berasal dari gabungan-gabungan buku dan media lain yang diserap otak kita, itu bukan ide yang orisinil? Apakah hanya ide dari Tuhan saja yang seakan orisinil? Kami kembali ke kitab pengkhotbah: "Tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Yang sekarang ada, dahulu sudah ada. Hanya Tuhan yang sanggup menciptakan sesuatu dari yang 'benar-benar' baru." Jadi, jangan kuatir apakah ide itu orisinil dari dalam diri karena melihat fakta, berita, informasi dari buku, dll, yang penting bagaimana mengolah ide tersebut sesuai kebutuhan yang dihadapkan pada kita. Paling penting adalah cari kehendak Tuhan dengan sikap rendah hati (ini mengantar ke poin berikutnya).

2. Seorang pemimpin tidak harus menjadi pencipta/pencetus ide terus-menerus, tetapi harus mampu menstimulasi agar orang lain dapat menciptakan ide-ide lalu memfasilitasi agar ide-ide orang lain berkembang menjadi semakin tajam dan fokus dalam penerapannya. Leaders traffic in idea creation. Untuk itu, diperlukan sikap kerendahan hati, keterbukaan dan kemampuan negosiasi yang baik dari seorang leader. Original idea kadang perlu dipertajam, dipoles, didiskusikan ulang dengan cara yang tepat sehingga tidak mematikan ide/meruntuhkan semangat si pencetus ide. Sebenarnya di sini gue melihat lagi rasa aman (tingkat security) seorang pemimpin atau pencetus ide itu harus besar. Gue ambil contoh waktu gue pelayanan ke kalimantan. Udah cape-cape bikin acara bertiga, lusa sudah mo go to Kalimantan, eh tiba-tiba GM ngomong panjang-lebar ke gue tentang acara rekonsiliasi yang kami (tim) rencanakan. Abis dia ngomong, besoknya, gantian, pendiri yayasan dateng ngomong ke gue, isi pembicaraan mirip (bayangkan, besoknya kami harus go to Kalimantan). Awalnya gue pikir, "Wah, mereka ini sangat kuatiran, di mana mereka mo kasih Tuhan berperan dalam pelayanan milik Tuhan ini?" Tapi gue ga ngomong begitu sih ke mereka hehehe, gue hanya mengkomunikasikan alasan semua ide dan keputusan yang diambil selama ini. Lalu sebagian ide mereka yang emang bagus & bisa dijalankan, yah akan dijalankan. Sisa "ide mereka" yang juga bagus, akan menjadi rambu-rambu bagi kami untuk peka mendengarkan perintah Roh Kudus langsung di lapangan (dengan kata lain, kami bersedia wait & see). Thanks God, mereka berdua adalah orang-orang yang terbuka dan mau mendengarkan pendapat dan beban orang lain juga. Gue beruntung menghadapi orang-orang yang berpikir panjang tapi tetap terbuka, tidak mematikan ide orang lain. Mereka mendoakan kami dan puji Tuhan, ide itu akhirnya jalan dengan sangat baik, kami sama-sama melihat karya Tuhan yang luarbiasa. Kasus ini memberi contoh bahwa WALAU salah satu pihak yakin akan idenya berasal dari Tuhan, tetap perlu mendengarkan pendapat orang lain yang kita tahu mereka pun berusaha mendengarkan Tuhan. Ciri orang yang mendengarkan Tuhan adalah rendah hati dan siap menarik ide yang dilontarkan jika ternyata bukan dari Tuhan. Waktulah yang akan menguji baik orangnya maupun idenya.

Gue rasa 2 poin di atas udah cukup panjang dijabarkannya ya. Kesimpulan gue: 1. Ide yang bagus perlu didukung, 2. Ide bisa dikatakan bagus atau tidak, sesuai kehendak Tuhan atau tidak, kadang perlu diuji oleh waktu dan kesempatan untuk trial & error (butuh disiplin, komitmen dan kerendahan hati), 3. Ide yang "kurang" bagus, sediakanlah waktu untuk brainstorming dengan sekelompok leader (libatkan para decision maker sejak awal, jangan di akhir doang) yang punya hati dan otak, maksudnya: otak untuk mempertajam ide menjadi lebih down to earth PLUS hati untuk menyampaikannya dengan mempertimbangkan perasaan banyak pihak.

Yah gitu aja deh, tulisan ini mengutarakan isi hati gue yang penuh syukur karena berada di ladang pelayanan yang membuat gue bertumbuh, bukan hanya karakter, tapi juga skill dengan memberikan banyak kesempatan dan juga batasan. Peace... Peace... ^_&

Kamis, 19 Februari 2009

Gubrakk!!

Kemaren malam, gue ke Farmer's, nyokap minta dibeliin buah. Seperti biasa, gue jalan dari kantor, masuk dari MKG3 dan berjalan dengan cepat. Lalu mata gue terbelalak menyaksikan 1 stand. Saking tertariknya, sementara kaki gue jalan terus ke depan, mata gue nengok ke belakang terpaku ama stand itu, tiba-tiba.... GUBRAAKKKK!!! Duh gue nabrak 1 tante. Gue kaget banget soale gue sama sekali ga memperlambat langkah walau mata gue liat ke stand yang makin menjauh di belakang gue. Gue langsung say sorry ke si tante dan langsung ga enak liat muka si tante yang kaget plus bete gitu ditabrak gue.

Sebenarnya kalo gue pikir ulang, si tante juga salah. Kalo dia "pake matanya dengan lebih baik dari gue", dia pasti bisa menghindari orang yang mo nabrak. Gue rasa si tante juga "meleng" kayak gue (mungkin aja dia nunduk sambil jalan jadi gue yang segede gini bisa nabrak dia). Yah, whatever deh, gue ga mo cari kambing hitam dari kejadian ini. Gue cuma ga abis pikir, bisa-bisanya gue nabrak orang :=.=: Ada 2 hal yang terjadi sebenarnya:

1. Mata gue terbuka lebar memperhatikan (seharusnya ini syarat untuk tidak nabrak ya?). Sayangnya, mata gue mengarah pada fokus yang berbeda dengan fokus kaki gue. Sebenarnya gpp kalo gue mo ganti fokus dari Farmer's ke stand itu (mampir bentar). Barang yang didisplay itu menarik karena gue butuh, stok di rumah udah hampir abis, tapi selama gue merasa barang di rumah benar-benar belum abis, gue akan mikir 1000x buat beli yang baru karena itu hanya kebutuhan sekunder, tanpa itu pun gue masih bisa menjalankan seluruh hidup gue dengan normal. Lucu juga sih dalam waktu <1menit, otak gue udah bisa menyuruh kaki gue tetap jalan ke Farmer's tetapi hati gue menyuruh mata gue melihat ke stand itu terus. Ada 2 fokus yang gue mau badan gue jalani, rakus amat ya?

2. Kaki gue melangkah ke fokus awal dengan cepat. Ini bukan hanya menggambarkan gue yang pengen cepet-cepet kabur dari godaan (setia ama fokus awal). Ini lebih menggambarkan karakteristik gue yang tidak suka berhenti. Gue yakin kalo gue berhenti pun gue akan bisa mengatasi godaan untuk membeli barang yang belum urgent. Jadi, jalan terus adalah pilihan yang berlaku hampir dalam seluruh aspek hidup gue. Apapun yang terjadi, gue terbiasa tidak berhenti. Dan sungguh, ini bisa dikatakan sebagai satu kekuatan sekaligus kelemahan gue. Minggu lalu ketika gue sakit, gue benar-benar bersyukur karena akhirnya Tuhan stop gue dari semua aktivitas yang ada. Gue yang apa-apa mau cepat, harus belajar untuk STOP di saat emang harus stop.

"Mata dan kaki harus sinkron, sama seperti otak dan hati." Kalo ga sinkron, dalam contoh sepele, ya nabrak kayak yang gue alami dengan si tante itu. Agak menyakitkan lah, nabrak si tante. Pasti lebih menyakitkan lagi kalo nabrak Ade Rai hahaha just kidding... pasti lebih nyakitin akibat otak dan hati ga sinkron. Akan ada banyak kemarahan dan ketidakpuasan yang terpendam ketika otak berusaha mempertahankan logikanya sementara hati merasakan yang lain. Kalo dipendam terus yah paling-paling muncul darting (darah tinggi) or parahnya ya stroke. Kalo dikeluarin dengan tidak tepat yah kasian aja orang-orang di sekitar yang kena imbas. Ini namanya cari penyakit susah sendiri ^_^

Gue teringat ucapan mentor gue: "Stel, Jangan sampe hati lu teriak-teriak mengejar otak lu, 'Tunggu...tunggu... tungguin gue donggg!' sementara otak lu udah lari entah kemana." Atau ucapan dosen gue ke temen yang lain: "Jangan sampe hati lu lari dengan cepat lalu otak lu teriak-teriak, 'Ngapain sihh lu ke sono, cari penyakit aja deh?!'" Hati dan otakku tersayang, jalanlah bareng-bareng. Soale, kapok nih nabrak....gubrakkk!!!

Rabu, 18 Februari 2009

Masa Lalu Bukan Keselaluan

Waktu mempersiapkan topik "Masa Lalu Bukan Keselaluan" dengan bahan dasar buku Pak Yohan, gue merasa harus memecahnya menjadi 2 kali pertemuan. Dalam pertemuan pertama, gue minta kelompok untuk membuat SRH (Skema Riwayat Hidup) sampai tahun 2008. Karena masa lalu akan menjadi keselaluan selama belum disadari. Suatu pola yang sama akan terus berulang di masa yang akan datang jika belum ada "pencerahan" dampak sebuah masa lalu.

Singkat cerita, di pertemuan kedua, gue mo kelompok menang atas masa lalu dengan mensharingkan pencerahan yang mereka dapat melalui PR mengerjakan SRH itu. Terakhir, adalah tantangan untuk keluar dari pola masa lalu yang telah disadari. Gue bagiin kertas dan tiap orang menulis pola negatif dari masa lalu yang telah disadari. Setelah itu, gue kasih tiap orang masing-masing 1 balon (upss ini ngambil balon Tura punya nih, minta ya...tura kan murah hati hehehe).

Kemudian tiap orang memasukkan kertas yang sudah digulung kecil ke dalam balon lalu meniup balon. Setelah itu sebagai wujud mereka mau lepas dari pola masa lalu yang negatif, mereka harus memecahkan balon dengan usahanya sendiri, sebisa mungkin tidak menggunakan alat selain diri mereka sendiri. Gue kasih contoh dengan menduduki balon yang berisi pola gue sendiri. Kocaknya, tuh balon ga pecah gue duduki, malah gue yang terpental ke belakang (rawon yang gue makan siang itu ga cukup membuat gue bertahan didorong balon hehehe).

Setelah itu, kami saling mengamati tiap orang dalam kelompok. I dengan cepat memecahkan balon dengan menggunakan kuku. G juga menyusul, gue ga abis pikir kenapa 2 cowo itu punya kuku lebih panjang dari para wanita dalam kelompok . Cukup mengagetkan ketika melihat N menggunakan tangan dengan tidak ragu-ragu, muka memancarkan tekad, langsung memencet balon sampe pecah.

Yang kocak waktu As berusaha memecahkan dengan menginjak eh tuh balon ga pecah-pecah, dia dorong2 ke tembok juga ga pecah, balonnya alot banget sampe akhirnya dengan muka gemas, dia menggunakan tangan, memencet balon lalu ekspresi puas tergambar di wajahnya setelah balon itu pecah. Di saat bersamaan, Y juga meremukkan balon dengan tangannya langsung.

Lain dengan E yang dari awal menyaksikan orang-orang memecahkan balon, langsung menutup telinga dan berkata, "Gue takut, pecahin dong balon gue." Sampe akhirnya dengan dorongan teman-teman, E menutup telinga dan pasang muka pasrah, menduduki balon dengan mata terpejam. Eh balonnya mental kayak kejadian gue hahaha dia menepuk-nepuk dada berusaha menenangkan diri dan mengulang lagi dengan ekspresi yang sama. Akhirnya balon E juga pecah. Hanya L yang menggunakan pensil tajam untuk menusuk balon karena balon yang ditiupnya kecil banget, mo diapain juga ga akan pecah selain ditusuk.

Terakhir An yang memeluk balon dengan wajah tak mau kehilangan. Dia ga rela banget ketika semua orang menanti dia memecahkan balon. Dia bilang, "Sayang ini balon, bisa buat anakku." Geli banget deh, gue langsung mikir, "Buset, begini nih kalo seorang bapak mo mewariskan segala hal ke anak, termasuk hal-hal negatif (secara ga sadar)." Tapi setelah didorong-dorong, An mencubiti balonnya sampe berlubang dan balonnya ga meledak, kempes dengan cara yang tidak mengagetkan seperti yang lain.

Gue nulis ini karena dari cara mereka memecahkan balon, dari ekspresi mereka, dari celetukan-celetukan yang mereka keluarkan selama proses ini berlangsung, juga dari komentar perasaan mereka setelah berhasil memecahkan balon, sedikit-banyak, terbaca profile mereka. Yang pasti, kami semua bertepuktangan untuk diri sendiri yang telah berhasil memecahkan balon itu. Semua mempertanyakan, "Yah, bu... kertasnya masih ada nih, keluar lagi dari balon yang udah pecah!"

Gue tertawa dan berkata, "Yup, bener banget! Kertas berisi pola masa lalu yang ingin dihancurkan itu akan tetap ada. Itu mencerminkan bahwa masa lalu tidak bisa dihilangkan. Masa lalu akan selalu menjadi bagian hidup kita. Yang kita hancurkan adalah pola negatif dari masa lalu. Jadi, kita bertekad kita ga mau masa depan kita dipengaruhi lagi oleh pola negatif masa lalu. Ketika memecahkan balon itu ada rasa takut, rasa sakit ketika balon meledak. Meninggalkan pola negatif masa lalu pun menyakitkan dan kadang menakutkan tetapi ingat bahwa kalian telah menghancurkan balon tadi, ada tekad yang kuat dalam diri kalian untuk menang atas masa lalu. Masa lalu bukan keselaluan!"

Perkataan Paulus dalam Filipi 3:12-14 menutup topik ini: "Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya karena aku pun telah ditangkap oleh Kristus Yesus. Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, Tetapi ini yang kulakukan: Aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus." Ayat ini sungguh hanya dapat berlaku bagi orang-orang yang justru berani membereskan masa lalunya sehingga masa lalu tidaklah menjadi suatu keselaluan.

Rabu, 11 Februari 2009

Silence (Hening)

Buku karya Shusaku Endo berjudul SILENCE cukup menarik untuk dikaji karena banyak memberikan sudut pandang dan pergumulan seorang pastur bernama Rodriguess atas penganiayaan terhadap orang Kristen di Jepang dulu. Ketika penganiayaan terhadap orang Kristen itu terjadi, seakan Tuhan itu diam dan berpangku tangan saja. Ada beberapa self-talk Rodrigues:

1. Tuhan Yesus bisa mengambil Yudas menjadi muridNya walaupun tahu akhirnya Yudas akan mengkhianatiNya. Kenapa? Rodrigues masuk seminari dan tetap tidak menemukan kenapa Allah memilih Yudas seakan sebagai kambing hitam dari kemuliaan Salib Kristus. Kalau begitu, sial banget nasib Yudas yang ditentukan binasa oleh Allah dalam usahaNya menyelamatkan dunia. Dalam hidupnya, Rodrigues belajar memposisikan diri sebagai Kristus ketika dia harus "mempercayakan" hidupnya di tangan seorang pengecut bernama Kichijiro yang berkali-kali menyangkal iman Kristen supaya tetap hidup dan berulang kali pula Kichijiro ini menyesal dan mengakui dosanya. Muncul dilema dalam hatinya ketika menyaksikan ini: Kenapa Tuhan menciptakan ada orang yang kuat tidak menyangkal iman sama sekali walaupun mengalami siksaan dan mengapa ada orang yang tidak tahan siksaan sama sekali? Kalau orang yang tidak tahan siksaan ini hidup di zaman yang serba enak, udah pasti ia akan menjadi orang Kristen yang setia sampai mati. Kenapa ada orang Kristen yang hidup bebas sementara yang lain harus mempertaruhkan nyawanya hanya supaya dapat beribadah kepada Kristus. Dari semua ini, menurutnya seakan-akan Allah tidak adil.

2. Fumie atau gambar Kristus yang diinjak seolah berbicara pada Rodriguess: "Injaklah Aku, Aku tahu kakimu sakit ketika menginjak-Ku tetapi justru untuk itulah aku datang." Rodrigues akhirnya menginjak gambar Kristus supaya orang Kristen lainnya (yang telah menyangkal iman tapi tetap dimasukkan ke lubang siksaan) dibebaskan. Rodrigues berusaha mempertahankan diri bahwa dia tidak menyangkal imannya kepada Kristus. Ia melakukan itu karena merasa Kristus berbicara agar ia menginjak gambarNya demi menyelamatkan orang Kristen yang ada dalam penderitaan. Ferrarie salah seorang dosen teologi Rodrigues yang juga telah "ditaklukkan" oleh para petinggi Jepang, mempengaruhinya dengan berkata, "Kalau Kristus ada di sana, Kristus pun akan menyangkal imanNya demi keselamatan orang-orang yang dikasihiNya."

Stop sampai di situ dulu, gue mau ga mau jadi merenung. Gue tau kalo Kristus mengasihi umatNya. Tetapi lebih dari itu, Kristus mengasihi Bapa yang mengutusNya! Bagi Kristus, tujuanNya datang ke dalam dunia hanyalah melakukan kehendak Bapa! Karena Bapa mengasihi manusia, maka Bapa mengutus Kristus dan Kristus yang mengasihi Bapa, taat karena memiliki hati seperti hati Bapa! Tetapi kasih Bapa tidak dapat dikompromikan dengan menyangkal iman. Karena tanpa iman yang benar, semua tindakan "belaskasihan atau kebaikan" hanya akan menjadi tindakan atas nama moralitas belaka.

Kalo dipikir-pikir, itulah awal kejatuhan Rodrigues dan Ferrarie. Mereka menempatkan "moralitas" di atas "iman" mereka. Kalau sudah demikian yang terjadi, tidak ada bedanya mereka (yang mengaku Kristen) dengan orang-orang beragama lain yang tidak mengenal Kristus. Mereka lupa bahwa dalam Kekristenan, inisiatif dimulai dari Allah sendiri. Allah yang proaktif dan berdaulat dalam menyelamatkan manusia. Dalam penderitaan mereka, para pastur itu merasa Tuhan DIAM dalam hening. YA, memang seakan Tuhan tidak bertindak di masa-masa itu. Di saat benih keraguan itu muncul, dengan cepat, iblis akan menggunakan semua akal pikiran manusia untuk mengembangkan keraguan berikutnya yang seperti bola salju yang menggelinding dari puncak gunung es semakin ke bawah akan semakin membesar.

Pikiran Rodrigues mulai merancang segala sesuatu "yang seharusnya" dilakukan Tuhan. Saat ia memikirkan itu, dia sendirilah tuan atas kejadian yang dilihatnya. Ketika Tuhan tidak melakukan seperti yang diinginkannya, ia mulai menunjukkan usahanya untuk melakukan yang lebih baik dari Tuhan. Ia harus menyelamatkan orang-orang lain dari kematian jasmani. Ia bukan hanya lupa bahwa Tuhan menjanjikan kehidupan kekal bagi orang yang percaya Kristus, Rodrigues bahkan mulai mempertanyakan bagaimana seandainya orang-orang itu mati mempertahankan iman tetapi terhadap Tuhan yang salah? Bagaimana kalo orang-orang Jepang yang rela mati itu ternyata bukannya menyembah Kristus tetapi menyembah "tuhan campuran dengan budaya mereka". Bagaimana kalo tidak pernah ada Tuhan? Bukankah semuanya akan mati sia-sia?

Rodrigues sudah mengambilalih peran Tuhan dan ia lupa bahwa Tuhan yang DIAM itu, Tuhan yang berdaulat. KehadiranNya tidak ditentukan dari DIA bersuara dan bertindak saja, tetapi bahkan dalam diam pun, Tuhan tetap ada. Gue inget banget ada sms yang mengatakan, "Tuhan seperti bintang di langit. Tidak selalu terlihat dari bumi karena kadang tertutup awan. Tetapi Bintang itu tetap ada di tempatnya walau pun kita tidak dapat selalu melihatnya." Satu hal yang gue pikir sifat para hamba Tuhan adalah: terpanggil ketika ada yang membutuhkan. Rasanya ingin sekali menolong orang lain. Gue juga merasakan hal yang sama. Tetapi di satu pihak, ini semua mengajarkan gue bahwa ada batasan yang dapat dilakukan untuk manusia lain. Di luar batasan itu, adalah bagian Tuhan. Melebihi batasan itu artinya mengambil peran Tuhan atas hidup orang lain dan akhirnya malah tidak bertanggungjawab dengan peran yang Tuhan kasih dalam hidup kita sendiri, misalnya dalam kasus Rodrigues. Ia sibuk memikirkan apa yang seharusnya dilakukan Tuhan: menyelamatkan orang Kristen dari kematian jasmani (padahal tujuan Kristus datang ke dunia adalah untuk menyelamatkan kehidupan kekal manusia, bukan supaya manusia hidup enak & tidak mengalami kematian jasmani). Dan ia lupa akan perannya untuk mempertahankan imannya sendiri.

Analisa gue tentang secuplik pemikiran Rodrigues ini ditutup dengan suatu kesimpulan bahwa akhirnya Rodrigues hidup dalam sebuah rasionalisasi, salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri. Ia mengatakan mendengar Kristus menyuruhnya menginjak gambar Kristus, tetapi ia sama sekali tidak menyangkal imannya sampai mati. Boleh jadi mulutnya berkata demikian, tetapi hatinya berkata lain. Karena dalam hidupnya, ia tidak pernah bisa akrab dengan Ferrarie yang dikatakannya seperti anak kembar dalam hidupnya, kembar dalam kesalahan. Dan yang buruk pada diri Ferrarie, ada juga pada dirinya. Mereka saling menjauh satu sama lain, ini adalah suatu bukti self-denial, tidak adanya penerimaan diri terhadap perbuatan yang telah dilakukannya karena tercermin pada diri orang lain. Sampai akhirnya mereka berdua tidak bisa menolak perintah untuk mengabdi kepada negara Jepang, mereka harus menulis buku "sanggahan terhadap iman Kristen". Dan mereka melakukannya. Dapat dibayangkan betapa besar konflik batin yang mereka rasakan? Bagaimana rasionalisasi mereka berjuang supaya mereka bisa hidup selaras? Mati-matian mengatakan mereka tidak menyangkal iman mereka tetapi perbuatan mereka sedikit demi sedikit mengarah ke sana seperti bola salju.

"Aku bukan siapa-siapa yang berhak menghakimi orang lain." Itu kalimat pernah diucapkan Rodrigues ketika berita pengkhianatan Ferrarie terdengar ke Portugis. Berita itu pula yang mendorongnya pergi ke Jepang untuk bertemu sendiri dengan Ferrarie. Kalimat yang sama pengen gue utarakan sebagai penutup: Gue bukan siapa-siapa yang berhak menghakimi orang lain. Gue ga mo menghakimi Rodrigues ataupun Ferrarie. Kalo gue ada di posisi mereka, belum tentu gue punya keberanian seperti yang telah mereka tunjukkan dalam menghadapi lubang siksaan. Gue cuma mo bilang: kadang orang yang berani mati sekalipun, terlihat kuat dan tegar tetapi sesungguhnya hatinya mudah tersentuh dan penuh belaskasihan terhadap sesama. Ketika mau mengorbankan banyak hal buat sesama, gue cuma merasa diingatkan, apakah itu yang terutama?

Sepertinya golden rule dalam Matius 22:37-39 dapat menutup tulisan ini, "Jawab Yesus kepadanya: 'Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.'" Jelas sekali di mana prioritas itu harus ditempatkan. Dengan begitu, semua kegiatan kita bukan hanya moralitas belaka tapi memiliki dasar iman yang jelas. Yah, gue cuma merasa jadi harus makin waspada aja, maklum, kadang panggilan menolong orang itu begitu besar sampe akhirnya gue malah mengambil alih peran Tuhan, seakan-akan gue tau lebih baik dari Tuhan dan akhirnya jadi berantakan. Membaca kasus Rodrigues mau ga mau jadi bercermin dan belajar banyak untuk mewaspadai kerapuhan pikiran diri sendiri....

Mimpi-Mimpi

Tiap orang punya mimpikah? Sabtu kemaren gue perpisahan dengan D yang mo go studi ke GuangZhou. Bagi sebagian orang, ini agak ga masuk akal: D bekerja 7 tahun di kantor lama gue, mati-matian banting tulang (belon banting TV) ngumpulin duit sepeser demi sepeser eh sekarang dihabiskan semuanya demi mengejar mimpi belajar bahasa di China. Awalnya gue juga merasa "Aduh D, sayang banget." Tapi kalo gue mo flashback, dulu gue juga gitu. Demi study ke MKSAAT, gue rela menghabiskan tabungan kerja selama 4tahun (walau akhirnya tuh tabungan ga abis-abis, kayak kasus janda di sarfat, God mencukupkan gue sampe ga harus kehabisan tabungan hehehe).

Gt juga ikut perpisahan dengan D. Dia termasuk orang yang sangat mendukung D untuk studi lagi karena Gt juga punya mimpi studi lagi ke Jerman! Seorang teman, Mt, juga punya mimpi studi lagi ambil S2 Psikologi. Sementara temen gue yang lain B, sedang berjuang mewujudkan mimpinya studi ke Belanda. Belum lagi, temen yang juga sedang mati-matian demi mimpi studi di Denver Seminary, Amrik. Wow, keep in touch dengan teman-teman ini sungguh membuat semangat gue menyala untuk terus mengevaluasi mimpi yang God taruh dalam hati gue ^_^

Apakah semua mimpi itu indah? Seorang teman yang lain, Mr berkata sambil menangis ke gue, "Gue mimpi pernikahan gue bahagia, gue ga pernah mimpi di usia 3th, pernikahan gue di ambang kehancuran dan harus pisah dari pasangan hidup gue!" Sahabat gue yang lain An dengan tersedu-sedu berkata, "Gue ga pernah mimpi menikah dan sekarang di usia 6th pernikahan, kalo gue bisa mengulang, lebih baik gue ga menikah. Gue ga pernah mimpi akan selingkuh. Gue sekarang hanya punya 1 mimpi, hidup gue hanya untuk anak gue. Dia yang satu-satunya gue sayang di dunia ini."

Buku SANG PEMIMPI karya Andrea Hirata juga sungguh mengagumkan melihat bagaimana seseorang berjuang demi mimpi-mimpinya. Sungguh, mimpi bisa membuat semangat gue naik atau sebaliknya mimpi buruk sangat menakutkan dan membuat gue merasakan sakit hatinya teman-teman gue akibat mimpi-mimpi dan realita yang ada dalam hidup mereka.

Sekarang ini ketika fisik gue terasa sangat lemah, gue kembali berpikir tentang mimpi, mimpi dan mimpi karena di saat begini, banyak orang yang menceritakan mimpi indah mereka termasuk mimpi buruk mereka. Emosi gue seperti orang naik jetcoaster. Satu hal yang gue dapet dari Amsal 23:18 adalah "Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang." Wow, itu sungguh menguatkan gue! Sesuatu yang tidak pernah diimpikan alias mimpi buruk pun, berada dalam kontrol Allah Bapa Pengasih sehingga akhirnya gue bisa bersama Paulus berkata "Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah."

Jadi, JANGAN TAKUT BERMIMPI! Helen Keller seorang buta dan tuli pernah ditanya, "Apakah yang lebih parah ketimbang dilahirkan buta?" Ia menjawab, "Mempunyai penglihatan tetapi tidak mempunyai visi." Visi itu adalah impian kita, sasaran kita! Mimpi adalah terang yang membuat kita menempuh jalan yang benar ketika dunia di sekeliling kita gelap. Mimpi adalah terang di ujung terowongan, kesanalah kita mo melangkah. So, apapun mimpi gue, mimpi keluarga gue, mimpi teman-teman gue, mimpi orang-orang yang penting dalam hidup gue, serahkan aja semuanya ke Tuhan.

Penyerahan pada kedaulatan Tuhan itu penting luar biasa! Ada seseorang yang berkata, "Sungguh kehidupan yang sia-sia, mendaki tangga impian dan setelah sukses sampai di puncaknya, ternyata tangga kita itu disandarkan pada gedung yang keliru." Hmm, intinya: Letakkan mimpi di tangan kita yang terbuka. Siap-siaplah ketika Tuhan mengambil mimpi itu dan meletakkan mimpi lain yang kita bahkan ga mo impikan. Doakan supaya hati kita mampu menggenggam mimpi yang dititipkan Tuhan, bukan hanya menggenggam mimpi pribadi kita. Amin...

Senin, 02 Februari 2009

Red Cliff 2

Akhirnya gue berhasil nonton film ini, ga kelewatan seperti yang pertama dan terpaksa nonton dvd bajakannya upsss ngaku deh beli bajakan hehehe... Thanks God berikutnya adalah baik Red Cliff yang pertama maupun yang kedua ini gue nonton sama orang yang hafal cerita Sam Kok karena gue membutuhkan juru bisik untuk ngerti film ini.

Yang pasti, film keduanya ini menurut gue jauh lebih seru dan bagus dibanding yang pertama. Kisah Tiga Negara, kisah sejarah paling terkenal di seluruh daratan asia dan juga dunia, diangkat dari sejarah yang bukunya ditulis oleh Luo Guanzhong berjudul Romance of the Three Kingdoms yang berkisah tentang perebutan kekuasaan Cina oleh 3 raja besar dari 3 negara, Cao Cao (Wei), Sun Quan (Wu) dan Liu Bei (Shu). Dalam film ini hanya sepotong kecil dari keseluruhan kisahnya yang bercerita tentang pertempuran seru di Chibi dan Red Cliff, salah satu pertempuran hebat sepanjang masa. Wu dan Shu bekerja sama untuk menghadapi serangan dari Wei baik perang darat maupun air. Shu memiliki si cerdas Zhuge Liang sedangkan Wu memiliki si cerdas Zhou Yu. Cao Cao si penjahat, sebagai lawan mereka pun pintar. So, kisah yang rumit dan penuh intrik politik ini menghasilkan strategi-strategi militer terbaik di dunia sampai sekarang. Red Cliff 2 ini pun bertaburan intan-intan permata kehidupan yang memberikan konfirmasi tentang beberapa hal berikut :

1. Cao cao menghampiri seorang prajuritnya dan menanyakan kenapa sang prajurit yang biasanya sehat itu bisa kena wabah tifus yang mematikan. Mungkin awalnya Cao Cao pengen menyelidiki guna mencegah perluasan wabah tifus itu. Si prajurit tidak menjawab pertanyaan Cao Cao dan hanya mengeluh, “Aku ingin pulang.” Prinsip: Orang yang sudah sekarat, tidak bisa diajak menganalisa masalahnya. Cao Cao termenung sejenak lalu mensharingkan kerinduannya pada anaknya yang berusia lebih muda dari si prajurit. Cao Cao menempatkan diri berada di posisi si prajurit yang menderita akibat peperangan dan juga punya keluarga yang dirindui tetapi sekarang terpisah karena perang. Cao Cao menceritakan penderitaan dirinya sendiri dan usahanya untuk tetap berperang “demi rakyatnya, demi keluarganya”. Waktu Cao Cao cerita seperti itu, gue udah bisa menebak apa efeknya bagi para prajurit. Bener aja, waktu Cao Cao pergi dari perkemahan prajurit yang dikarantina tifus itu, tiba-tiba semua prajuritnya yang sakit (yang awalnya bangun aja ga bisa), mengantar kepergiannya dengan berdiri sambil menggebrak-gebrak tombak, menabuh gembreng perang, dll dengan penuh semangat berteriak bahwa sesakit apapun mereka akan ikut Cao Cao berperang sampai akhir menuju kemenangan. Menakjubkan sekali! Gue rasa Cao Cao sangat ngerti psikologis. Dia bisa memprovokasi “will” or keinginan seseorang, membangkitkan semangat orang yang sudah mo mundur. Kuncinya 1: menempatkan diri di posisi orang itu, lalu menceritakan kesamaan diri dengan orang itu. Cao Cao tahu bahwa orang-orang yang menderita perlu teman dan ia datang bukan sebagai atasan yang memerintah tapi sebagai teman yang mengerti dan memahami. Dengan itu, dia mampu memenangkan hati para prajuritnya. Hebat kan si penjahat satu ini?

2. Liu Bei mengundurkan diri dari aliansi dengan Sun Quan. Padahal yang mengusulkan aliansi itu adalah Liu Bei. Alasan Liu Bei sangat manusiawi: “Aku bertanggungjawab atas hidup para prajuritku. Aku tidak bisa membuat mereka bertahan di tempat yang ada wabah penyakit mematikan.” Wajar kalo Sun Quan marah dan merasa Liu Bei sangat egois karena ditinggal sendiri untuk menghadapi serangan Cao Cao. Walau di akhir, diceritakan sebenarnya ini cuma taktik Zhuge Liang untuk membuat Cao Cao lengah, mo ga mo, gue mikirin hal ini. Apa yang akan gue pilih kalo ada di posisi Liu Bei? Mempertahankan janji & komitmen (setia kawan) dengan risiko para prajuritnya mati? Atau mundur dari komitmen/perjanjian demi hidup prajurit/pihaknya sendiri? Kalo gue jadi Liu Bei, gue ga pengen anak buah gue mati. Ketika gue jadi pemimpin, gue punya tanggungjawab terhadap hidup anak buah gue. Tapi, apakah itu lebih penting dibanding dengan kesetiaan terhadap orang lain yang juga sudah melakukan banyak pengorbanan demi kerjasama dengan gue? Wow, kayak makan buah simalakama, serba salah, kalo makan buah itu, emak mati tapi kalo ga makan, bapak yang mati. Film ini mengajarkan, kadang pilihan yang sulit dapat diatasi dengan sebuah “langkah ekstrem yang berani” (percaya pada rekan). Langkah itu pada akhirnya akan diikuti oleh langkah lainnya. Para pengikut Liu Bei (termasuk 2 saudaranya: Zhang Fei dan Tio Hui) yang tidak tahu semua itu hanya tipuan, di awal mengikuti Liu Bei tapi akhirnya menentukan pilihan untuk kembali ke medan perang, memilih meninggalkan Liu Bei yang mereka anggap telah mengingkari perjanjian dengan Shun Quan. Kadang sebagai seorang pengikut, seakan tidak punya pilihan dan harus mengikut pemimpin. Tapi ada kalanya membuat pilihan yang berbeda dengan pemimpin juga diperlukan ketika pemimpin melakukan suatu “kesalahan” setelah mengevaluasinya beberapa waktu. Pelajaran yang gue ambil: hati nurani yang senantiasa dibersihkan melalui firman Tuhan adalah hal yang harus diikuti jauh melebihi ketaatan kita pada otoritas manusia karena memang Tuhan memberikan manusia sebagai otoritas, tetapi kita harus senantiasa waspada bahwa hanya relasi pribadi dengan Tuhanlah yang seharusnya menjadi dasar kita membuat pilihan yang dikehendakiNya

3. Ada adegan lucu antara Zhuge Liang (alias Kong Beng) dan jenderal yang bertugas menemaninya mencari 100.000 anak panah dalam 3 hari (taruhannya kepala sendiri, booo). Kong Beng tenang-tenang dan senyum-senyum misterius sementara si jenderal udah panik ga karuan. Karena Kong Beng ga mo buka mulut cerita rencananya, si jenderal ajak ngomong kura-kura lalu di adegan selanjutnya, dia ngomong dengan orang-orangan jerami di dalam kapal. Di balik adegan lucu itu, gue meringis karena membayangkan sesungguhnya relasi gue dan Tuhan seringkali seperti itu. Tuhan seakan diam dan tidak mo ngomong apa rencanaNya buat gue. Gue seperti si jenderal yang kalang-kabut ga jelas dan bete ama Tuhan lalu akhirnya ‘nyerah mancing’ Tuhan ngomong, akhirnya gue ngomong ama kura-kura atau orang-orangan sawah yang gue anggap “lebih manusiawi” dibanding Tuhan yang seakan bungkam seribu bahasa. Pelajaran baik dari si jenderal adalah walau dia ga tau rencana Zhuge Liang, walau dia panik dan ribut ngomong sendiri, dia tidak meninggalkan Zhuge Liang! Dia tetap mendampingi Zhuge Liang bahkan ketika bahaya mengancam. Mo ga mo semua pikiran yang terlintas waktu nonton adegan ini, membuat gue cengengesan karena seberat apapun tantangan yang gue hadapi dan Tuhan seakan diam dan tertidur, kalo gue bisa tetap bersama Tuhan di saat-saat seperti itu, itu hanya karena anugerah Tuhan. Anugerah yang memampukan gue akhirnya PASTI melihat karya Tuhan. Sama seperti si jenderal yang akhirnya bertepuktangan untuk Zhuge Liang, gue pun bertepuktangan untuk Tuhan yang luar biasa! Rancangan Tuhan jauh melebihi rancangan manusia. Penglihatan gue terbatas, yang gue perlukan hanya hati yang mo percaya bahwa rancanganNya selalu yang terbaik buat gue dan taat untuk tidak meninggalkanNya. Keren banget pesan dari adegan ini?

4. Persahabatan sejati seharusnya tidak dipengaruhi oleh kepentingan pribadi. Beda dengan film, buku Sam Kok aslinya menceritakan bahwa ketika Zhuge Liang selesai memanggil angin Tenggara yang menyelamatkan pasukan sekutunya (Zhou Yu), ia segera pergi bergabung dengan Liu Bei di jalan darat karena ia tahu Zhou Yu akan membunuhnya. Zhou Yu yang cerdik luar biasa menyadari bahwa Kong Beng adalah saingan terberatnya sehingga mengirim orang untuk membunuh Kong Beng supaya tidak menjadi musuh dalam selimut di masa mendatang. Di film Red Cliff 2 ini, yang terjadi tidak seperti itu. Kong Beng datang berjumpa dengan Zhou Yu dan mereka sama-sama bersyukur bahwa dalam peperangan kali ini, mereka telah menemukan “lawan tanding terberat” sekaligus sahabat sejati karena saling memegang janji & komitmen. Mereka tidak menyangkal kalau di waktu mendatang bisa saja mereka akan berhadapan sebagai musuh karena mereka melayani 2 tuan yang berbeda tapi mereka tetap saling percaya dan menutup perjumpaan mereka dengan sangat indah. Kalo mo dipikir, sebenarnya, versi buku lebih riil dan membumi. Bukankah dalam dunia nyata, misalnya dalam politik, teman bisa jadi lawan dan lawan bisa jadi teman hanya karena persamaan kepentingan? Tetapi jujur, gue lebih suka versi filmnya, karena itu idealnya, sebuah persahabatan yang sejati, tidak boleh hanya dibatasi oleh keuntungan pribadi. Persahabatan tidak bisa dikatakan sejati kalau hanya terjadi di saat terjadi persamaan kepentingan saja. Kalau sudah tidak ada kesamaan lalu saling menyerang hanya karena rasa tidak aman yang muncul. Biasanya orang bersahabat kalau ada kemiripan. Semakin mirip seseorang dengan diri kita, semakin kita akan menganggapnya sebagai saingan kita (kalau bukan lagi sahabat kita). Ending versi film ini lebih cocok dengan falsafah hidup yang gue perjuangkan. Kalau seandainya benar-benar tidak sejalan lagi, tidak perlulah saling menyerang! Berpisahlah dengan elegan, sama seperti Zhuge Liang dan Zhou Yu. Mereka menyadari potensi mereka untuk nantinya berhadapan sebagai lawan tanding dan bukan lagi rekan seperjuangan, tetapi mereka tidak saling bunuh hanya karena memperjuangkan rasa aman di masa datang yang belum tentu terjadi. Sekali lagi, gue bilang ini idealnya. Dalam dunia realita yang sering terjadi sering kebalikannya karena kesehatan emosional manusia jarang yang ada dalam level baik, mayoritas orang berjuang membuat pilihan demi rasa aman pribadi. Yah, namanya juga manusia.

5. Adegan di awal yang paling ga mo gue sorot tapi cukup menggerakkan emosi gue adalah waktu Cao Cao mengirimkan mayat-mayat prajuritnya ke wilayah Sun Quan. Kejam sekali Cao Cao melakukan itu (wajarkah itu dilakukan dalam perang?), membuat pasukan lawan terinfeksi wabah penyakit tifus juga. Yang mengharukan adalah Zhou Yu memberikan perintah agar menguburkan pasukan musuh karena mereka juga manusia. Kong Beng mengharuskan mayat-mayat itu dikremasi demi mencegah makin menjalarnya wabah itu. Dan mereka akhirnya mengkremasikan mayat musuh yang luar biasa banyak itu. Dalam perang, gue kadang mikir di mana ada rasa kemanusiaan? Tapi dalam film ini, kalo para pemimpin itu memiliki rasa kemanusiaan bahkan terhadap musuh mereka yang sudah mati, gue mo kasih two thumbs up deh. Kadang dalam hidup ini, yang paling sulit adalah mengasihi musuh apalagi kalau harus melakukan perbuatan baik demi musuh yang telah mengakibatkan diri kita mengalami banyak kehilangan. Kadang di situ gue berpikir, orang-orang di luar Kekristenan dapat melakukan banyak perbuatan yang luar biasa baik dengan dalih kemanusiaan dan moral, etika or whatever deh namanya. Apa yang membedakan perbuatan mereka dengan perbuatan orang Kristen? Mungkin hanya 1: motivasi. Orang Kristen mengampuni/melakukan perbuatan baik kepada musuh dengan motivasi untuk menyenangkan hati Allah. Orang Kristen telah mengalami anugerah pengampunan Allah sehingga dari dalam hati, otomatis muncul sikap yang mau mengampuni bahkan berbuat baik pada musuh. Pertanyaannya: kenapa seringkali orang Kristen yang telah merasakan anugerah itu, justru kikir dan sulit mengampuni orang lain? Seperti yang dikisahkan Yesus dalam perumpamaan hamba yang berhutang 10ribu talenta dan diampuni tetapi tidak mau mengampuni hutang temannya yang jumlahnya cuma 100 dinar. Jawabannya pun simple: karena hamba itu tidak merasakan anugerah Tuannya yang memberikan pelunasan 10ribu talenta. Dia masih berpikir kalo tuannya akan menagihnya suatu kali nanti sehingga dia harus terus mengumpulkan uang untuk membayarnya, makanya dia sangat perhitungan terhadap hutang temannya yang jumlahnya sangat sedikit itu. Serem juga ya kalo sudah bertahun-tahun jadi orang Kristen, tapi tidak sepenuhnya merasakan anugerah Tuhan! Semua usaha, bahkan pelayanan yang dilakukan pun tampaknya jadi usaha pribadi untuk “membeli” keselamatan yang harganya sebenarnya telah lunas dibayar oleh Kristus! Akhirnya, orang Kristen seperti ini, mau ga mau akan fokus dalam segala usaha “demi diri sendiri" dan tidak punya daya untuk fokus pada kepentingan orang lain, apalagi kepentingan Tuhan!

Hm, udah itu dulu kali ya, sebenarnya masih banyak yang bisa digali dari film ini. Gue bisa bikin masing-masing artikel dari tiap topik yang disorot hehehehe sayangnya ga ada waktu aja denk (belagu amir)… Tapi gue senang sekali bisa nonton film ini, pesannya juga bagus, selain gue bisa liat akting koko gue, Takeshi Kaneshiro tentunya hahahihihuhu (rada norax deh)…