Senin, 13 Juni 2011

Meninggal Dadakan

Kemaren senja keluargaku dikagetkan dengan berita bahwa papa dari teman gereja dadakan meninggal. Jadi, sedang jalan-jalan di Mall Taman Anggrek lalu tiba-tiba jatuh/pingsan, langsung dibawa ke Rumah Sakit di daerah Grogol. Melihat badannya yang kurus, ga nyangka sama sekali ada penyakit jantung yang dadakan bisa merenggut nyawanya ketika sedang jalan-jalan bersama keluarganya.

Walau otak manusia tahu bahwa tiap orang dapat meninggal kapan saja, tetap aja pasti hati keluarga yang ditinggalkan terasa berat mengalami kehilangan yang sangat mendadak. Beda dengan kehilangan yang disebabkan oleh sakit berkepanjangan yang sedikit-banyak telah mempersiapkan keluarga akan kehilangan suatu saat nanti.

Tapi satu hal yang indah adalah di Minggu pagi itu, papa temanku itu masih ibadah ke gereja seperti tiap Minggu biasanya. Kematian seseorang yang setia mengikut Kristus seumur hidupnya adalah suatu teladan yang bergaung dalam hati tiap pengikut Kristus yang masih dikasih izin ngontrak di dunia ini. Sebelum meninggal, almarhum sedang berjalan-jalan bersama keluarga anak bungsunya. Ia bukan hanya teladan mengasihi Tuhan tapi juga teladan dalam menggunakan waktu berkualitas bersama-sama keluarga. Bahkan sampai umur 68tahun, dia masih berdagang bersama istrinya.

Tuhan memandang berharga kepulangan almarhum papa temanku itu kembali pada-Nya di Sorga. Walau dunia kehilangan dia, tapi teladan sikap hidupnya setia sampai akhir pada Sang Juru Selamat, akan terus menjadi mercu suar bagi dunia yang sulit mencari "kesetiaan". Aku bertanya, jika Tuhan memanggilku dengan mendadak, sudahkah aku dengan setia menyelesaikan tiap hal dalam aspek hidupku yang DIA percayakan padaku?

Guruku Sang Pengamen

Beberapa hari yang lalu sepulang pelayanan kampus, aku ketemu pemuda yg ngamen di bis kota. Kutimang2 sekotak kopi cair nescafe di tas-ku. Kupikir perjuanganku yang harus melayani lagi sampe larut malam akan membutuhkan energi extra dari kopi. Tapi akhirnya ketika pengamen itu menyodorkan kantong plastik untuk meletakkan uang receh, sambil senyum kutawarkanlah sekotak kopi tersebut, "mas, mau ini ga?" dan senyumnya langsung merekah sumringah, mengatakan "mau, terimakasih banget ya mbak." Dia mengulang kata itu berkali-kali. Kemudian setelah slesai ngedarin kantong sampe bangku terakhir, dia kembali padaku & bilang TQ beberapa x lagi sambil mendoakan keselamatanku dalam perjalanan. Terus dia pergi dan aku ga nengok-nengok lagi sampe ternyata dia masih di belakang & begitu mo turun, dia nyamperin aku, pamit sambil bilang makasih lagi, mukanya bahagia banget.

Malamnya, kejadian tadi membuatku merenungkan. Gila, dia bisa tersenyum & merasa sangat berterimakasih dengan bahagia, kelihatan banget sukacitanya hanya karena sekotak kopi cair seharga 3200rp. Dalam hati aku mulai bertanya, apa yg membuatku bisa berulang-ulang mengucapkan terimakasih dengan sukacita yg meluap-luap? Kalo sekarang ini aku & adik2 bisa mulai pindahan rumah ke kontrakan, itu benar-benar anugerah God karena rumah lama ga perlu roboh semuanya dulu untuk kami renovasi. Tapi ketika menjalani anugerah itu, sikap eksternal ternyata sangat mempengaruhi emosi kami bahkan mulai mengurangi rasa syukur kpd Tuhan itu. Thx God, yang mengajarku bersyukur & bersukacita melalui seorang pengamen yang tahu bersyukur :) Keep CIA YOU day by day...