Rabu, 11 Februari 2009

Silence (Hening)

Buku karya Shusaku Endo berjudul SILENCE cukup menarik untuk dikaji karena banyak memberikan sudut pandang dan pergumulan seorang pastur bernama Rodriguess atas penganiayaan terhadap orang Kristen di Jepang dulu. Ketika penganiayaan terhadap orang Kristen itu terjadi, seakan Tuhan itu diam dan berpangku tangan saja. Ada beberapa self-talk Rodrigues:

1. Tuhan Yesus bisa mengambil Yudas menjadi muridNya walaupun tahu akhirnya Yudas akan mengkhianatiNya. Kenapa? Rodrigues masuk seminari dan tetap tidak menemukan kenapa Allah memilih Yudas seakan sebagai kambing hitam dari kemuliaan Salib Kristus. Kalau begitu, sial banget nasib Yudas yang ditentukan binasa oleh Allah dalam usahaNya menyelamatkan dunia. Dalam hidupnya, Rodrigues belajar memposisikan diri sebagai Kristus ketika dia harus "mempercayakan" hidupnya di tangan seorang pengecut bernama Kichijiro yang berkali-kali menyangkal iman Kristen supaya tetap hidup dan berulang kali pula Kichijiro ini menyesal dan mengakui dosanya. Muncul dilema dalam hatinya ketika menyaksikan ini: Kenapa Tuhan menciptakan ada orang yang kuat tidak menyangkal iman sama sekali walaupun mengalami siksaan dan mengapa ada orang yang tidak tahan siksaan sama sekali? Kalau orang yang tidak tahan siksaan ini hidup di zaman yang serba enak, udah pasti ia akan menjadi orang Kristen yang setia sampai mati. Kenapa ada orang Kristen yang hidup bebas sementara yang lain harus mempertaruhkan nyawanya hanya supaya dapat beribadah kepada Kristus. Dari semua ini, menurutnya seakan-akan Allah tidak adil.

2. Fumie atau gambar Kristus yang diinjak seolah berbicara pada Rodriguess: "Injaklah Aku, Aku tahu kakimu sakit ketika menginjak-Ku tetapi justru untuk itulah aku datang." Rodrigues akhirnya menginjak gambar Kristus supaya orang Kristen lainnya (yang telah menyangkal iman tapi tetap dimasukkan ke lubang siksaan) dibebaskan. Rodrigues berusaha mempertahankan diri bahwa dia tidak menyangkal imannya kepada Kristus. Ia melakukan itu karena merasa Kristus berbicara agar ia menginjak gambarNya demi menyelamatkan orang Kristen yang ada dalam penderitaan. Ferrarie salah seorang dosen teologi Rodrigues yang juga telah "ditaklukkan" oleh para petinggi Jepang, mempengaruhinya dengan berkata, "Kalau Kristus ada di sana, Kristus pun akan menyangkal imanNya demi keselamatan orang-orang yang dikasihiNya."

Stop sampai di situ dulu, gue mau ga mau jadi merenung. Gue tau kalo Kristus mengasihi umatNya. Tetapi lebih dari itu, Kristus mengasihi Bapa yang mengutusNya! Bagi Kristus, tujuanNya datang ke dalam dunia hanyalah melakukan kehendak Bapa! Karena Bapa mengasihi manusia, maka Bapa mengutus Kristus dan Kristus yang mengasihi Bapa, taat karena memiliki hati seperti hati Bapa! Tetapi kasih Bapa tidak dapat dikompromikan dengan menyangkal iman. Karena tanpa iman yang benar, semua tindakan "belaskasihan atau kebaikan" hanya akan menjadi tindakan atas nama moralitas belaka.

Kalo dipikir-pikir, itulah awal kejatuhan Rodrigues dan Ferrarie. Mereka menempatkan "moralitas" di atas "iman" mereka. Kalau sudah demikian yang terjadi, tidak ada bedanya mereka (yang mengaku Kristen) dengan orang-orang beragama lain yang tidak mengenal Kristus. Mereka lupa bahwa dalam Kekristenan, inisiatif dimulai dari Allah sendiri. Allah yang proaktif dan berdaulat dalam menyelamatkan manusia. Dalam penderitaan mereka, para pastur itu merasa Tuhan DIAM dalam hening. YA, memang seakan Tuhan tidak bertindak di masa-masa itu. Di saat benih keraguan itu muncul, dengan cepat, iblis akan menggunakan semua akal pikiran manusia untuk mengembangkan keraguan berikutnya yang seperti bola salju yang menggelinding dari puncak gunung es semakin ke bawah akan semakin membesar.

Pikiran Rodrigues mulai merancang segala sesuatu "yang seharusnya" dilakukan Tuhan. Saat ia memikirkan itu, dia sendirilah tuan atas kejadian yang dilihatnya. Ketika Tuhan tidak melakukan seperti yang diinginkannya, ia mulai menunjukkan usahanya untuk melakukan yang lebih baik dari Tuhan. Ia harus menyelamatkan orang-orang lain dari kematian jasmani. Ia bukan hanya lupa bahwa Tuhan menjanjikan kehidupan kekal bagi orang yang percaya Kristus, Rodrigues bahkan mulai mempertanyakan bagaimana seandainya orang-orang itu mati mempertahankan iman tetapi terhadap Tuhan yang salah? Bagaimana kalo orang-orang Jepang yang rela mati itu ternyata bukannya menyembah Kristus tetapi menyembah "tuhan campuran dengan budaya mereka". Bagaimana kalo tidak pernah ada Tuhan? Bukankah semuanya akan mati sia-sia?

Rodrigues sudah mengambilalih peran Tuhan dan ia lupa bahwa Tuhan yang DIAM itu, Tuhan yang berdaulat. KehadiranNya tidak ditentukan dari DIA bersuara dan bertindak saja, tetapi bahkan dalam diam pun, Tuhan tetap ada. Gue inget banget ada sms yang mengatakan, "Tuhan seperti bintang di langit. Tidak selalu terlihat dari bumi karena kadang tertutup awan. Tetapi Bintang itu tetap ada di tempatnya walau pun kita tidak dapat selalu melihatnya." Satu hal yang gue pikir sifat para hamba Tuhan adalah: terpanggil ketika ada yang membutuhkan. Rasanya ingin sekali menolong orang lain. Gue juga merasakan hal yang sama. Tetapi di satu pihak, ini semua mengajarkan gue bahwa ada batasan yang dapat dilakukan untuk manusia lain. Di luar batasan itu, adalah bagian Tuhan. Melebihi batasan itu artinya mengambil peran Tuhan atas hidup orang lain dan akhirnya malah tidak bertanggungjawab dengan peran yang Tuhan kasih dalam hidup kita sendiri, misalnya dalam kasus Rodrigues. Ia sibuk memikirkan apa yang seharusnya dilakukan Tuhan: menyelamatkan orang Kristen dari kematian jasmani (padahal tujuan Kristus datang ke dunia adalah untuk menyelamatkan kehidupan kekal manusia, bukan supaya manusia hidup enak & tidak mengalami kematian jasmani). Dan ia lupa akan perannya untuk mempertahankan imannya sendiri.

Analisa gue tentang secuplik pemikiran Rodrigues ini ditutup dengan suatu kesimpulan bahwa akhirnya Rodrigues hidup dalam sebuah rasionalisasi, salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri. Ia mengatakan mendengar Kristus menyuruhnya menginjak gambar Kristus, tetapi ia sama sekali tidak menyangkal imannya sampai mati. Boleh jadi mulutnya berkata demikian, tetapi hatinya berkata lain. Karena dalam hidupnya, ia tidak pernah bisa akrab dengan Ferrarie yang dikatakannya seperti anak kembar dalam hidupnya, kembar dalam kesalahan. Dan yang buruk pada diri Ferrarie, ada juga pada dirinya. Mereka saling menjauh satu sama lain, ini adalah suatu bukti self-denial, tidak adanya penerimaan diri terhadap perbuatan yang telah dilakukannya karena tercermin pada diri orang lain. Sampai akhirnya mereka berdua tidak bisa menolak perintah untuk mengabdi kepada negara Jepang, mereka harus menulis buku "sanggahan terhadap iman Kristen". Dan mereka melakukannya. Dapat dibayangkan betapa besar konflik batin yang mereka rasakan? Bagaimana rasionalisasi mereka berjuang supaya mereka bisa hidup selaras? Mati-matian mengatakan mereka tidak menyangkal iman mereka tetapi perbuatan mereka sedikit demi sedikit mengarah ke sana seperti bola salju.

"Aku bukan siapa-siapa yang berhak menghakimi orang lain." Itu kalimat pernah diucapkan Rodrigues ketika berita pengkhianatan Ferrarie terdengar ke Portugis. Berita itu pula yang mendorongnya pergi ke Jepang untuk bertemu sendiri dengan Ferrarie. Kalimat yang sama pengen gue utarakan sebagai penutup: Gue bukan siapa-siapa yang berhak menghakimi orang lain. Gue ga mo menghakimi Rodrigues ataupun Ferrarie. Kalo gue ada di posisi mereka, belum tentu gue punya keberanian seperti yang telah mereka tunjukkan dalam menghadapi lubang siksaan. Gue cuma mo bilang: kadang orang yang berani mati sekalipun, terlihat kuat dan tegar tetapi sesungguhnya hatinya mudah tersentuh dan penuh belaskasihan terhadap sesama. Ketika mau mengorbankan banyak hal buat sesama, gue cuma merasa diingatkan, apakah itu yang terutama?

Sepertinya golden rule dalam Matius 22:37-39 dapat menutup tulisan ini, "Jawab Yesus kepadanya: 'Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.'" Jelas sekali di mana prioritas itu harus ditempatkan. Dengan begitu, semua kegiatan kita bukan hanya moralitas belaka tapi memiliki dasar iman yang jelas. Yah, gue cuma merasa jadi harus makin waspada aja, maklum, kadang panggilan menolong orang itu begitu besar sampe akhirnya gue malah mengambil alih peran Tuhan, seakan-akan gue tau lebih baik dari Tuhan dan akhirnya jadi berantakan. Membaca kasus Rodrigues mau ga mau jadi bercermin dan belajar banyak untuk mewaspadai kerapuhan pikiran diri sendiri....

Tidak ada komentar: