Senin, 02 Februari 2009

Red Cliff 2

Akhirnya gue berhasil nonton film ini, ga kelewatan seperti yang pertama dan terpaksa nonton dvd bajakannya upsss ngaku deh beli bajakan hehehe... Thanks God berikutnya adalah baik Red Cliff yang pertama maupun yang kedua ini gue nonton sama orang yang hafal cerita Sam Kok karena gue membutuhkan juru bisik untuk ngerti film ini.

Yang pasti, film keduanya ini menurut gue jauh lebih seru dan bagus dibanding yang pertama. Kisah Tiga Negara, kisah sejarah paling terkenal di seluruh daratan asia dan juga dunia, diangkat dari sejarah yang bukunya ditulis oleh Luo Guanzhong berjudul Romance of the Three Kingdoms yang berkisah tentang perebutan kekuasaan Cina oleh 3 raja besar dari 3 negara, Cao Cao (Wei), Sun Quan (Wu) dan Liu Bei (Shu). Dalam film ini hanya sepotong kecil dari keseluruhan kisahnya yang bercerita tentang pertempuran seru di Chibi dan Red Cliff, salah satu pertempuran hebat sepanjang masa. Wu dan Shu bekerja sama untuk menghadapi serangan dari Wei baik perang darat maupun air. Shu memiliki si cerdas Zhuge Liang sedangkan Wu memiliki si cerdas Zhou Yu. Cao Cao si penjahat, sebagai lawan mereka pun pintar. So, kisah yang rumit dan penuh intrik politik ini menghasilkan strategi-strategi militer terbaik di dunia sampai sekarang. Red Cliff 2 ini pun bertaburan intan-intan permata kehidupan yang memberikan konfirmasi tentang beberapa hal berikut :

1. Cao cao menghampiri seorang prajuritnya dan menanyakan kenapa sang prajurit yang biasanya sehat itu bisa kena wabah tifus yang mematikan. Mungkin awalnya Cao Cao pengen menyelidiki guna mencegah perluasan wabah tifus itu. Si prajurit tidak menjawab pertanyaan Cao Cao dan hanya mengeluh, “Aku ingin pulang.” Prinsip: Orang yang sudah sekarat, tidak bisa diajak menganalisa masalahnya. Cao Cao termenung sejenak lalu mensharingkan kerinduannya pada anaknya yang berusia lebih muda dari si prajurit. Cao Cao menempatkan diri berada di posisi si prajurit yang menderita akibat peperangan dan juga punya keluarga yang dirindui tetapi sekarang terpisah karena perang. Cao Cao menceritakan penderitaan dirinya sendiri dan usahanya untuk tetap berperang “demi rakyatnya, demi keluarganya”. Waktu Cao Cao cerita seperti itu, gue udah bisa menebak apa efeknya bagi para prajurit. Bener aja, waktu Cao Cao pergi dari perkemahan prajurit yang dikarantina tifus itu, tiba-tiba semua prajuritnya yang sakit (yang awalnya bangun aja ga bisa), mengantar kepergiannya dengan berdiri sambil menggebrak-gebrak tombak, menabuh gembreng perang, dll dengan penuh semangat berteriak bahwa sesakit apapun mereka akan ikut Cao Cao berperang sampai akhir menuju kemenangan. Menakjubkan sekali! Gue rasa Cao Cao sangat ngerti psikologis. Dia bisa memprovokasi “will” or keinginan seseorang, membangkitkan semangat orang yang sudah mo mundur. Kuncinya 1: menempatkan diri di posisi orang itu, lalu menceritakan kesamaan diri dengan orang itu. Cao Cao tahu bahwa orang-orang yang menderita perlu teman dan ia datang bukan sebagai atasan yang memerintah tapi sebagai teman yang mengerti dan memahami. Dengan itu, dia mampu memenangkan hati para prajuritnya. Hebat kan si penjahat satu ini?

2. Liu Bei mengundurkan diri dari aliansi dengan Sun Quan. Padahal yang mengusulkan aliansi itu adalah Liu Bei. Alasan Liu Bei sangat manusiawi: “Aku bertanggungjawab atas hidup para prajuritku. Aku tidak bisa membuat mereka bertahan di tempat yang ada wabah penyakit mematikan.” Wajar kalo Sun Quan marah dan merasa Liu Bei sangat egois karena ditinggal sendiri untuk menghadapi serangan Cao Cao. Walau di akhir, diceritakan sebenarnya ini cuma taktik Zhuge Liang untuk membuat Cao Cao lengah, mo ga mo, gue mikirin hal ini. Apa yang akan gue pilih kalo ada di posisi Liu Bei? Mempertahankan janji & komitmen (setia kawan) dengan risiko para prajuritnya mati? Atau mundur dari komitmen/perjanjian demi hidup prajurit/pihaknya sendiri? Kalo gue jadi Liu Bei, gue ga pengen anak buah gue mati. Ketika gue jadi pemimpin, gue punya tanggungjawab terhadap hidup anak buah gue. Tapi, apakah itu lebih penting dibanding dengan kesetiaan terhadap orang lain yang juga sudah melakukan banyak pengorbanan demi kerjasama dengan gue? Wow, kayak makan buah simalakama, serba salah, kalo makan buah itu, emak mati tapi kalo ga makan, bapak yang mati. Film ini mengajarkan, kadang pilihan yang sulit dapat diatasi dengan sebuah “langkah ekstrem yang berani” (percaya pada rekan). Langkah itu pada akhirnya akan diikuti oleh langkah lainnya. Para pengikut Liu Bei (termasuk 2 saudaranya: Zhang Fei dan Tio Hui) yang tidak tahu semua itu hanya tipuan, di awal mengikuti Liu Bei tapi akhirnya menentukan pilihan untuk kembali ke medan perang, memilih meninggalkan Liu Bei yang mereka anggap telah mengingkari perjanjian dengan Shun Quan. Kadang sebagai seorang pengikut, seakan tidak punya pilihan dan harus mengikut pemimpin. Tapi ada kalanya membuat pilihan yang berbeda dengan pemimpin juga diperlukan ketika pemimpin melakukan suatu “kesalahan” setelah mengevaluasinya beberapa waktu. Pelajaran yang gue ambil: hati nurani yang senantiasa dibersihkan melalui firman Tuhan adalah hal yang harus diikuti jauh melebihi ketaatan kita pada otoritas manusia karena memang Tuhan memberikan manusia sebagai otoritas, tetapi kita harus senantiasa waspada bahwa hanya relasi pribadi dengan Tuhanlah yang seharusnya menjadi dasar kita membuat pilihan yang dikehendakiNya

3. Ada adegan lucu antara Zhuge Liang (alias Kong Beng) dan jenderal yang bertugas menemaninya mencari 100.000 anak panah dalam 3 hari (taruhannya kepala sendiri, booo). Kong Beng tenang-tenang dan senyum-senyum misterius sementara si jenderal udah panik ga karuan. Karena Kong Beng ga mo buka mulut cerita rencananya, si jenderal ajak ngomong kura-kura lalu di adegan selanjutnya, dia ngomong dengan orang-orangan jerami di dalam kapal. Di balik adegan lucu itu, gue meringis karena membayangkan sesungguhnya relasi gue dan Tuhan seringkali seperti itu. Tuhan seakan diam dan tidak mo ngomong apa rencanaNya buat gue. Gue seperti si jenderal yang kalang-kabut ga jelas dan bete ama Tuhan lalu akhirnya ‘nyerah mancing’ Tuhan ngomong, akhirnya gue ngomong ama kura-kura atau orang-orangan sawah yang gue anggap “lebih manusiawi” dibanding Tuhan yang seakan bungkam seribu bahasa. Pelajaran baik dari si jenderal adalah walau dia ga tau rencana Zhuge Liang, walau dia panik dan ribut ngomong sendiri, dia tidak meninggalkan Zhuge Liang! Dia tetap mendampingi Zhuge Liang bahkan ketika bahaya mengancam. Mo ga mo semua pikiran yang terlintas waktu nonton adegan ini, membuat gue cengengesan karena seberat apapun tantangan yang gue hadapi dan Tuhan seakan diam dan tertidur, kalo gue bisa tetap bersama Tuhan di saat-saat seperti itu, itu hanya karena anugerah Tuhan. Anugerah yang memampukan gue akhirnya PASTI melihat karya Tuhan. Sama seperti si jenderal yang akhirnya bertepuktangan untuk Zhuge Liang, gue pun bertepuktangan untuk Tuhan yang luar biasa! Rancangan Tuhan jauh melebihi rancangan manusia. Penglihatan gue terbatas, yang gue perlukan hanya hati yang mo percaya bahwa rancanganNya selalu yang terbaik buat gue dan taat untuk tidak meninggalkanNya. Keren banget pesan dari adegan ini?

4. Persahabatan sejati seharusnya tidak dipengaruhi oleh kepentingan pribadi. Beda dengan film, buku Sam Kok aslinya menceritakan bahwa ketika Zhuge Liang selesai memanggil angin Tenggara yang menyelamatkan pasukan sekutunya (Zhou Yu), ia segera pergi bergabung dengan Liu Bei di jalan darat karena ia tahu Zhou Yu akan membunuhnya. Zhou Yu yang cerdik luar biasa menyadari bahwa Kong Beng adalah saingan terberatnya sehingga mengirim orang untuk membunuh Kong Beng supaya tidak menjadi musuh dalam selimut di masa mendatang. Di film Red Cliff 2 ini, yang terjadi tidak seperti itu. Kong Beng datang berjumpa dengan Zhou Yu dan mereka sama-sama bersyukur bahwa dalam peperangan kali ini, mereka telah menemukan “lawan tanding terberat” sekaligus sahabat sejati karena saling memegang janji & komitmen. Mereka tidak menyangkal kalau di waktu mendatang bisa saja mereka akan berhadapan sebagai musuh karena mereka melayani 2 tuan yang berbeda tapi mereka tetap saling percaya dan menutup perjumpaan mereka dengan sangat indah. Kalo mo dipikir, sebenarnya, versi buku lebih riil dan membumi. Bukankah dalam dunia nyata, misalnya dalam politik, teman bisa jadi lawan dan lawan bisa jadi teman hanya karena persamaan kepentingan? Tetapi jujur, gue lebih suka versi filmnya, karena itu idealnya, sebuah persahabatan yang sejati, tidak boleh hanya dibatasi oleh keuntungan pribadi. Persahabatan tidak bisa dikatakan sejati kalau hanya terjadi di saat terjadi persamaan kepentingan saja. Kalau sudah tidak ada kesamaan lalu saling menyerang hanya karena rasa tidak aman yang muncul. Biasanya orang bersahabat kalau ada kemiripan. Semakin mirip seseorang dengan diri kita, semakin kita akan menganggapnya sebagai saingan kita (kalau bukan lagi sahabat kita). Ending versi film ini lebih cocok dengan falsafah hidup yang gue perjuangkan. Kalau seandainya benar-benar tidak sejalan lagi, tidak perlulah saling menyerang! Berpisahlah dengan elegan, sama seperti Zhuge Liang dan Zhou Yu. Mereka menyadari potensi mereka untuk nantinya berhadapan sebagai lawan tanding dan bukan lagi rekan seperjuangan, tetapi mereka tidak saling bunuh hanya karena memperjuangkan rasa aman di masa datang yang belum tentu terjadi. Sekali lagi, gue bilang ini idealnya. Dalam dunia realita yang sering terjadi sering kebalikannya karena kesehatan emosional manusia jarang yang ada dalam level baik, mayoritas orang berjuang membuat pilihan demi rasa aman pribadi. Yah, namanya juga manusia.

5. Adegan di awal yang paling ga mo gue sorot tapi cukup menggerakkan emosi gue adalah waktu Cao Cao mengirimkan mayat-mayat prajuritnya ke wilayah Sun Quan. Kejam sekali Cao Cao melakukan itu (wajarkah itu dilakukan dalam perang?), membuat pasukan lawan terinfeksi wabah penyakit tifus juga. Yang mengharukan adalah Zhou Yu memberikan perintah agar menguburkan pasukan musuh karena mereka juga manusia. Kong Beng mengharuskan mayat-mayat itu dikremasi demi mencegah makin menjalarnya wabah itu. Dan mereka akhirnya mengkremasikan mayat musuh yang luar biasa banyak itu. Dalam perang, gue kadang mikir di mana ada rasa kemanusiaan? Tapi dalam film ini, kalo para pemimpin itu memiliki rasa kemanusiaan bahkan terhadap musuh mereka yang sudah mati, gue mo kasih two thumbs up deh. Kadang dalam hidup ini, yang paling sulit adalah mengasihi musuh apalagi kalau harus melakukan perbuatan baik demi musuh yang telah mengakibatkan diri kita mengalami banyak kehilangan. Kadang di situ gue berpikir, orang-orang di luar Kekristenan dapat melakukan banyak perbuatan yang luar biasa baik dengan dalih kemanusiaan dan moral, etika or whatever deh namanya. Apa yang membedakan perbuatan mereka dengan perbuatan orang Kristen? Mungkin hanya 1: motivasi. Orang Kristen mengampuni/melakukan perbuatan baik kepada musuh dengan motivasi untuk menyenangkan hati Allah. Orang Kristen telah mengalami anugerah pengampunan Allah sehingga dari dalam hati, otomatis muncul sikap yang mau mengampuni bahkan berbuat baik pada musuh. Pertanyaannya: kenapa seringkali orang Kristen yang telah merasakan anugerah itu, justru kikir dan sulit mengampuni orang lain? Seperti yang dikisahkan Yesus dalam perumpamaan hamba yang berhutang 10ribu talenta dan diampuni tetapi tidak mau mengampuni hutang temannya yang jumlahnya cuma 100 dinar. Jawabannya pun simple: karena hamba itu tidak merasakan anugerah Tuannya yang memberikan pelunasan 10ribu talenta. Dia masih berpikir kalo tuannya akan menagihnya suatu kali nanti sehingga dia harus terus mengumpulkan uang untuk membayarnya, makanya dia sangat perhitungan terhadap hutang temannya yang jumlahnya sangat sedikit itu. Serem juga ya kalo sudah bertahun-tahun jadi orang Kristen, tapi tidak sepenuhnya merasakan anugerah Tuhan! Semua usaha, bahkan pelayanan yang dilakukan pun tampaknya jadi usaha pribadi untuk “membeli” keselamatan yang harganya sebenarnya telah lunas dibayar oleh Kristus! Akhirnya, orang Kristen seperti ini, mau ga mau akan fokus dalam segala usaha “demi diri sendiri" dan tidak punya daya untuk fokus pada kepentingan orang lain, apalagi kepentingan Tuhan!

Hm, udah itu dulu kali ya, sebenarnya masih banyak yang bisa digali dari film ini. Gue bisa bikin masing-masing artikel dari tiap topik yang disorot hehehehe sayangnya ga ada waktu aja denk (belagu amir)… Tapi gue senang sekali bisa nonton film ini, pesannya juga bagus, selain gue bisa liat akting koko gue, Takeshi Kaneshiro tentunya hahahihihuhu (rada norax deh)…

1 komentar:

Timothy Lee mengatakan...

Suka Samkok juga ya ternyata hehe...gak nyangka...btw film Red Cliff bukan didasarkan pada "Romance of the Three Kingdoms" karya Luo Guanzhong, yang ditulis di abad 14 masehi, tapi pada "Chronicles of the Three Kingdoms" yang ditulis di abad 3 masehi, jadi gak jauh dari masa berlangsungnya peristiwa tiga kerajaan (sekitar 220-280 masehi alias sekitar 60 tahun). Tapi biar bagaimanapun gue salut atas tulisan u...keep on writing! :-)